Selasa, 22 Juni 2010

JAMU PAHIT UNTUK KESEHATAN MENTALITAS


Waktu is your baby menonta dan menangis kejang saat dikasih 'cekok' sebenarnya apa yang sedang anda lakukan? Sengaja menyiksa anak? Anda akan berhadapan dengan Komisi Perlindungan Anak. Tentunya cukup dipahami siapa saja bahwa maksud anda tentu ingin membuat si anak segar bukar dan tak gampang masuk angin.
Cekok atau jamu kita pahami mengandung rasa pahit 'njekek'. Di lidah tidak gampang hilang mesti kemudian mencoba mencarakan dengan mereguk minuman air tawar. Sikap setiap orang tua yang memberi menu dengan rasa tak karuan itu jelas tidak dipahami oleh si anak. Itulah mengapa si anak menangis dan meronta karena merasa tersiksa. Kalau ia mampu melakukan tindakan bagaikan orang dewasa yang memiliki penalaran, tentu si ibu akan diembat sampai klenger. Apa yang dilakukan si ibu merupakan tindakan prefentif yang tidak bisa digugat dengan Undang-undang Perlindungan Anak. Kalau dulu, jaman Nabi, tindakan prefentif dilakukan oleh Malaikat Jibril yang langsung membedah dada Muhammad kecil untuk dibersihkan hatnyai. Tujuannya jelas, tak lain adalah mengupayakan mentalitas anak agar tidak lemah. Dalam dunia medis ada istilah 'dengan tubuh yang sehat terdapat mentalitas yang sehat pula'.
Fenomena yang demikian, tentu tidak pernah terhenti sepanjang orang terus hidup. Istilah bencana alam yang sering terjadi, tak lain adalah peringatan yang datang berupa kritikan alam. Memang istilah umumnya bisa berubah menjadi musibah, namun secara hakikiyahnya semua terjadi karena akibat jamunya kurang atau segan ditelan manusia. Keberadaan manusia di dunia ini sangat dekat dan lekat berpengaruh terhadap eko kosmos. Ketika kita punya ayam saja, sudah harus berupaya mencarikan makan, membikinkan kandang, mengatur jadual keluar masuk sang ayam. Terhadap rambut kita saja, kita akan disibukkan dengan menyisir, mengkeramas, cari shampo, mencukur rapi dan seterusnya. Pada aktifitas yang demkkian menuntut kita harus bicara dan mendengar orang lain bicara, apalgi ketika kita beraktifias menjadi pejabat atau pengelola negara.

Ironisnya, pada saat kita merasa memiliki kedudukan dimana usia sudah mendewasa mulai segan meronta dan menangis atau berkecimpung dengan penderitaan. Ini terjadi justru karena negeri kita merdeka. Kerena itu, kemerdekaan kadang membikin orang malah tidak memiliki ketahanan mentalitas. Tidak perlu dibicarakan lebih banyak, contohnya kerap kita dengar dan kita lihat melalui siaran televisi.
Orang mestinya senang minum jamu dan jamu yang manjur tentu pahit, namun sudah terlanjur lidah merdekanya mampu membedakan mana yang pahit dan mana yang manis, maka manislah yang terus didekatkan ke lidah kita.

Mari kiia amati diri kita sendiri. Apakah kita masih berani mereguk jamu pahit? Apakah ketika kita menghadapi persoalan dan kritikan dapat kita ramu menjadi jamu pahit yang justru kalau kita reguk akan menjadi sehat dan kuat? Ataukah ketika muncul sebuah kritikan kita membuat argument dan alibi untuk membuang jauh yang demikian? Kalau kita tidak mau menelan dengan suka rela, sudah barang tentu peradaban yang sedang kita bangun bersama ini adalah peradaban jauh lebih buruk daripada peradaban manusia gua (caveman). Itulah mengapa di Al Qur'an dikatakan bahwa pada tataran berikutnya manusia bisa menjadi makhluq paling jelek meskipun secara phisik norlmal saja.

Secara filosofis, kritik bak sabun yang memiliki sifat alaminya sebagai 'pembersih'. Jenis sabunpun macam-macam. Sabun mandi yang harum cuma mampu menghilangkan bau keringat dan menciptakan keharuman sekujur tubuh, namun bila tubuh kena oli, apakah akan bisa bersih dengan sabun mandi yang harum tadi? Tak perlak, tubuh yang berlumuran oli tentunya harus dihantam dengan sabun batangan yang keras. Harus kita gosok berulang-ulang dan tidak mustahil kulit akan mengalami sedikit memar kemerah-merahan. Cuma ironisnya kita sudah terlanjur agak empati dengan sabun batangan yang keras. makanya Malaikat sering heran melihat kelakuan manusia yang maunya enak melulu. Doa yang diajarkan oleh Nabi dengan lafadz : "Ya Tuhanku, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat serta jauhkan kami dari siksa neraka", yang terlintas di benak kita adalah pingin di dunia hidup enak dan di akhirat enak pula cukup dengan ramuan doa. Koq enak banget ya. Mengapa? Sebab mentalitas yang terbangun adalah mentalitas materialistis. Dalam konteks lughot arab pengertian 'hasanah' parameternya sebenarnya terletak pada kepuasan batin yang diolah dan diasah oleh penalaran jernih, bukan diothak athik sekedar akal atau logika sederhana. Kalau ukuran kebahagiaan diasumsikan dengan harta benda, Nabi dan Shohabat-shohabatnya secra meteriil semua kaya raya. Mereka punya lidah yang tajam bagi mencabik cabik langit. Doa mereka lebih bisa tersikapi oleh Tuhannya. Tapi bukankah Nabi dan orang-orang dekatnya secara harfiyah malah melarat? Umarpun konon ketika menjadi presiden, jubahnya bertambal-tambal. Dalam satu sisi Nabi malah sering berdoa : Ya Alloh, jadikan saya orang miskin, mati dalam kemiskinan, serta kelak dibangkitkan bersama-sama dengan orang orang miskin!" Lantas mengapa kita sering mencederai dengan asumsi lain? Masalahnya kita tidak aktif bahkan segan minum jamu pahit dalam kehidupan ini. Di sisi lainnya Nabi juga mengeluarkan kalimat yang mengatakan : 'barang siapa banyak tertawa di dunia, maka akan menangis di akhirat.' Ada lagi ungkapan yang disampaikan dengan mengatakan : 'Dunia ini penjara bagi orang yang beriman.' Itulah Nabi juga menjadi heran ketika orang hidup di penjara koq senang dan bahagia.

Lebih ironis lagi, ketika kita mengartikan sabda Nabi yang mengatakan : Capailah kehidupan di dunia seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan capailah kehidupan di akhirat seolah-olah kamu akan mati esuk pagi!, diartikan implemantasinya adalah hidup di dunia ini terus semangat bekerja mencari materi, namun harus pula beribadah atau belajar agama untuk bekal di akhirat. Sekilas memang itu seperti benar, namun bisa jadi apa yang sedang kita lakukan tak ubahnya sedang berupaya mencari pembenar untuk ngejar materi.Mengapa menjadi ironis? Karena konteksnya jauh dari pengertian Nabi yang memang sehat mentalitasnya. Nabi berujar dunia ini identik dengan penjara dan bayangan, yang ketika dikejar malah akan lari menjauh. Sebaliknya bila ditinggalkan, bayangan itu malah akan mengikuti. Dalam logikanya sudah barang tentu pengertian 'capailah kehidupan di dunia seolah olah kamu akan hidup selamanya' harus ditafsiri 'mencari kehidupan dunia jangan terlalu ngoyo...bahasa lainnya 'nyantai aja' sebab seolah-olah kamu akan hidup selamanya.
Itulah mengapa, orang yang suka mereguk kepahitan hidup akan sangat berbeda dengan orang yang suka mereguk kesenangan hidup dalam menelusuri dan menafsiri makna. Dengan demikian, 'hasanah' yang diterjemah sebagai 'kebaikan' akan sangat berbeda ketika diterjemah menjadi 'kebahagiaan'. Kalau istilahnya adalah 'kebaikan' tentu menjadi sinkron. Itulah mengapa ada penyair sufistik menyatakan dalam doanya : "Ya Alloh berilah saya hasanah/kebaikan meskipun itu berupa air mata.

Yang jelas, dalam konteks pemberdayaan dan membangun mentalitas sangat terpancang bagaimana dengan kesadaran penuh orang harus menyanggupi menelan kepelikan dan kepahitan hidup. Yang demikian bisa datang secara alami muncul dari langit, dan bisa dimunculkan melalui mekanisme semacam program yang dirancang sendiri oleh kita. Kayaknya sulit ya? Mengapa tidak bisa? Syeikh Abdul Qadir Jaelany dalam kitabnya, Futuhul Ghoib..lamat-lamat saya pernah baca, beliau mengatakan agar hati kita ini seringlah dibikin semrawut atau 'bosah-baseh' dalam bahasa jawanya. Kita bisa bangun malam di saat orang tidur. Kita bisa berpuasa disaat orang makan. Kita bisa berdzikir disaat orang lalai. Apakah merancang yang demikian itu sulit? Sulit itu muncul karena malas. Melawan kemalasan itu mestinya bagian dari rancangan cara kita mengkritisi diri sendiri dan kesanggupan menelan jamu pahit untuk menguatkan mentalitas.
Satu hal lagi, orang abidin, kalau tidak salah Umar ibnul khothob pernah mengatakan : "hati-hati terhadap tamu yang datang kepadamu!" Menurutnya tamu itu datang ada dua jenis. Kadang datang membawa pujian dan kadang membawa cercaan. Menurut analisa dan logika, tentunya kita lebih suka dengan tamu yang datang membawa pujian. Tapi ia berujar bahwa 'pujian itu sama dengan sembilihan'. Ia mengatakan 'ketika datang tamu kepadmu akan menyembelih kamu, adalah lebih baik daripada tamu yang datang kepadamu dengan membawa pujian kepadamu!"

Paradigma pemahaman kita sering berbalik dalam menganalisa sebab sudah terlanjur mentalitas kita terbangun dengan minuman manis yang sebenarnya racun pikiran.
Kita bisa mengerti ketika secara phisik bila tubuh kita ingin sehat dan kuat harus berolah raga rutin, maka dalam hal membangun mentalitas kita harus rutin menelan kehidupan ini dengan memilih yang pahit pahit.
Kaitannya dengan kritisi, atau ketika orang mengkritik yang kalau dicerna adalah cercaan, harus ditelan dengan gembira yang kemudian pada pencercanya harus berterima kasih. Itulah Prof Dr Hamka pernah menyindir, ketika kita difitnah orang-sudah semestinya kita malah mengunjungi penfitnahnya sambil membawakan roti kesukaannya sebagai ganti ucapan terima kasih.

Repot pula memahami tulisan sya ini ya? Mungkin anda masih segan minum jamu pahit sehingga kurang cerdas, atau malah mungkin aku yang kurang minum jamu kurang pahit sehingga tulisan saya masih kurang mampu memberi kejelasan. (MP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar