Rabu, 26 Mei 2010

GO BACK TO ART




















Antara menjadi Dewan dan Seniman

Sebagai politisi saya tahu kalau Pecalegan saya pada Pemilu Legeslatif 2009 bakal tersisih walau pada urutan nomor 1 di Dapil III (Kedu-Kandangan), cuma saya nggak mengungkapkan pada Relawan atu Tim Sukses saya. Saya sudah menangkap bahwa muaranya sarat dengan ‘money politic’ bila ingin membuahkan hasil. Mau pakai alasan ‘shodaqoh’ bagi mualaf atau ‘idep-odep nyangoni kader’ tetap bertentangan dengan hati nurani saya. Sampai Tim saya memberikan informasi bahwa pendukung saya cuma sekedar minta saku jajan buat anak-anaknya, tak lebih dari limaribu per gundul. Jangankan lima ribu per gundul, seratus rupiah saja tidak akan saya lakukan. Dikiranya saya cetil, nggak jugalah..Pemilu kemarin kalau uang limapuluh juta amblas, cuma saya seting nggak per gundul. Ada alasan yang sangat krusial namun tidak akan saya bahas dalam kesempatan tawaran Stanplat agar saya menulis artikel. Di sinilah saya ingin orang kembali mengerti bahwa saya sudah kembali ke habitat seni (go back to art). Rasanya saya nggak mau terlalu melulu larut dengan dunia poltik yang nuansanya semakin menyedihkan saja (biarlah gantian para anggota dewan sekarang yang merasakannya). Berekspresi, berjuang, bisa saja dilakukan dengan berbagai cara. Mengembalikan potensi, menjaga keseimbangan dan melakukan terapi kesehatan mental dan phisik tidak melulu pakai doping obat-obatan secara medical. Salah satunya adalah berseni-seni. Seni dalam ekspresinya tidak terbatas meskipun saya sadar muatannya adalah sangat kontekstual. Ibarat orang merokok, bisa saja orang suka ‘linthingan mbako klembak menyan’ yang justru dirasakan sangat nikmat ketika dipadukan dengan udara dingin seperti Temanggung, cuma koridornya harus jelas karena ada batasan-batasan yang secara normativ harus diikuti guna menciptakan kestabilan. Kan nggak mungkin merokok klembak menyan di gedung berkaliber kayak Aula DPRD misalnya.
Bagi saya, berkarya bagaikan orang mules yang solusinya hanya satu yakni harus berberak atau buang hajat agar perut tidak sakit. Soal kemudian tinja mau ada yang pingin mengolah menjadi rabuk atau kompos pupuk organic, itu urusan dinas pertanian dan para petani. Jadi fresh saja. Soal mau ada yang mau ngangkat dan mengorbitkan atau diolah menjadi ide yang lebih kualitatif dan dapat mengarah pada komersialtias itu urusan belakangan yang mungkin belum tentu menjadi bidang garapan saya. Ketika Gedung Pemuda yang sekarang berubah menjadi Kantor Kecamatan Temanggung, saya pernah memanfaatkan kegiatan dua kali Pegelaran Seni spektakuler bersama seniman remaja yang personilnya sampai ratusan orang. Waktu itu diprakarsai oleh PC IPNU-IPPNU Temanggung dengan judul ‘Yang Tak Berwarna I’, dilanjutkan tiga tahun berikutnya mengambil judul ‘Yang Tak Berwarna II’. Tulisan-tulisan saya kaitannya dengan seni yang bertajuk puisi, esei, cerpen dll pernah dimuat di harian Wawasan, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Temanggung Bersenyum, Antologi Puisi Progo, Antologi Puisi Aku Bambing, Antologi Puisi Menoreh, dll. Bergabung dengan Wadista (Wahana Dialog Seniman Temanggung) yang diprakarsai Roso Titi Sarkoro dan menjadi Pengurus Dewan Kesenian Daerah Kab. Temanggung pernah saya lampaui. Mimpin Teater Codot yang pernah gemparke Gedung Pemuda saat itu dengan Lakon Brotoyudo di Pinggir Jalan juga sudah pernah saya lakukan. Sebagian orang yang berkecimpung di kesenian Temanggungan tentu dekat dengan saya, terutama yang bergerak di bidang Sastra. Memang tiba-tiba kesan-kesan itu menghilang ketika saya menjadi DPRD Kabupaten Temanggung. Kalau dulu orang menyebut Gus Wali teman dekat saya dengan mengatakan sebagai ‘seniman kampung’, maka orang juga menyebut saya sebagai ‘seniman kenthir’. Namun tiba-tiba ketika saya methengkreng menjadi orang terhormat istilah ‘kenthir’ menjadikan orang canggung dan merasa rikuh padahal label kenthir itu justru dapat memotifasi saya untuk lebih terpacu dalam mengembangkan kreatifitas saya. Istilah atau label, bagi saya adalah bagian teraphi. Saya merasa nggak marah atau sakit hati orang mau menyebut apa saja terhadap saya, wong kenthir saja saya malah suka apalagi dikatakan ‘wong baguse rak karuan tiada tandingan’ kayak lagu Slenco.

Berseni itu teraphi

Ketika teman-teman saya yang ‘nyaleg’ dan nggak jadi DPRD dengan iringan musiknya ‘kadung habis banyak uang’ tentu buntutnya muncul rasa kekecewaan. Ada yang belakangan menjadi stress karena dilanda hutang dan ancaman morat-marit kehidupan rumah tangganya. Kurang mampu menyeimbangkan antara tekanan bathin dan kenyataan sehingga kadang yang terjadi in the mind adalah ‘heng’ atau bahkan ‘blank’. Ada yang bingung sendiri dan sulit menentukan langkah harus bagaimana kelanjutannya. Tapi terus terang, koq tidak begitu bagi saya. Mungkin karena jiwa saya yang sudah banyak ditempa dengan naluri sebagai seniman sehingga menjadikan dinamika hidup yang demikian tidak begitu berat membebani pikiran. Saya nggak malu misal mau jadi bakul ‘sego kucing’ atau ‘bakso ojek’ muter-muter di SD-SD. Yang bingung malah konstituen yang kadung tresno dengan saya, termasuk istri saya sendiri. Sepertinya nggak rela kalau saya harus melakukan kegiatan aktifitas seperti itu. Bagi saya hidup itu asal mengikuti aliran air, kepenak saja. Sebelum saya jadi DPRD, saya orang sederhana koq, malah saat ini saya merasa tetap menang karena mampu menahan keyakinan yang bagi saya bermain jujur sudah menyangkut harga diri. Tapi saya juga kasihan dengan konstituen pendukung saya yang kadang sampai menangis dan merasa iba sehingga bicaranya kuatir menyinggung tentang kekalahan saya, sampai ketika saya jatuh sakit typus dikiranya bersinggungan dengan masalah nyaleg nggak jadi. Payah….Tapi soal kekecewaan, saya akui memang ada dalam lubuk dan pemikiran saya, namun semua terkait dengan nuansa Perpolitikan secara makro, bukan semata karena saya nggak jadi DPRD. Agar kekecewaan itu tidak sekedar kekecewaan dan image dapat dirubah, maka saya menulis novel yang berjudul CALEG REMUK yang halamannya sampai 300-an lebih. Tidak hanya itu, tiga bulan pasca Pemilu saya merampungkan dua buah novel, satunya berjudul Al Qomar Terpinang di Tengah Kabut. Kedua novel tadi untuk sementara ini masih sekedar nyangkut di kamar tidur. Dan selanjutnya saya bikin film Remaja . Dua buah film masing-masing SATU SURO THE MOVIE dan berlanjut dengan SATU SURO THE MOVIE 2.

Satu Suro The Movie ilustrasi seni sosial

Saya bukan mengada-ada, bikin film yang setaraf Cineplex baru kali ini saya lakukan. Kalau bikin film dokumentasi kegiatan, pertunjukan seni tradisi dll. memang merupakan rutinitas selaku Tukang Shoting. Namun berbekal dengan hoby saya yang suka nonton film, obsesi pingin bikin film memang sudah cukup lama. Pernah saya bicarakan ide bikin Film dengan kelompok Mahasiswa PMII Temanggung beberapa tahun yang lalu, hasilnya masih kandas. Ide sudah ada, pingin bikin film waktu itu dengan judul ‘Bebek Adus Kali’. Pembicaraan semi formalnya terus dilakukan sampai pada survey lokasi di Daerah Rowo Seneng. Kandasnya, karena saya menangkap masih ada keraguan semuanya termasuk dibayangi biaya yang kayaknya kurang memungkinkan. Yang demikian karena pingin bikin film yang memilki bobot kualitas. Terlalu idialis malah menjadi buntu. Namun sangat berbeda ketika saya bertemu dengan anak remaja yang datang secara tiba-tiba saja. Momentntya mungkin sangat tepat, ditengah mengisi kekosongan liburan Sekolah pada akhir tahun 2009 dan juga di dorong keinginan yang ingin melakukan sebuah action kesenian yang praktis, menggelitik dengan sedikit tantangan serta memiliki niatan tujuan ringan saja, yakni berlatih acting dan menggembirakan masyarakat sekitar malah berhasil.
Bermula dari para remaja dan akhirnya berkembang dari anak-anak dan orang tua menaruh respon terhadap ide pembuatan Film ini sungguh merupakan hal yang menggembirakan. Tidak tanggung-tanggung mereka rela untuk tidak dibayar dan bahkan merogoh kocek sekedar keperluan normal seperti beli rokok, minuman dan transportasi sendiri-sendiri saat dilokasi pengambilan gambar. Mereka semua cukup ceria dan serius dan biasa mengemukakan gagasan-gagasan. Hampir tiap hari mereka berkumpul baik sebelum shoting maupun sesudah shoting dalam rangka melihat bersama (cek adegan) hasil setiap acting. Bila dirasakan kurang bagus, mereka juga yang meminta untuk diulang kembali adegannya. Entahlah apakah dalam dunia per-actingan yang pakem terjadi interaksi demikian? Yang sering saya lihat, sutradara digambarkan suka marah-marah dan pemainnya menjadi sewot tapi bisanya menyerah.
Kebersamaan sangat terasa, sampai satu orang bisa merangkap menjadi pemain, merias ala kadarnya, bawa peralatan dan menawarkan ide ide lainnya. Saya sendiri mengemas kisah tidak kaku dan bertemakan sangat sederhana. Siapapun yang ingin ikut pasti saya kasih peran dan saya kasih kesempatan. Yang saya menjadi salut, saat mulai kesiapan lounching dan memperbanyak kopy-an yang katanya ingin diperlihatkan kepada teman atau saudaranya, ambil dari kocek sendiri-sendiri. Mereka cukup tanggap, tidak ingin memperberat pembuatan film ini Cuma dibebankan kepada saya. Bismillah sayapun berangkat hanya dengan cinta.

Satu Suro The Movie belajar acting alamiyah.

Cuma berbekal penalaran dan kenekatan saja, saya mulai menyiapkan mereka untuk latihan ekspresi beberapa menit, dan begitu saya rasa sudah cukup, langsung saya ambil gambar adegannya. Karena memang tidak ada naskah tertulisnya, saya merasa malah lebih praktis dalam menentukan dialog yang saya sesuaikan dengan karakter pelakunya. Step by step kucuran dialog selalu saya imbangkang dengan posisi pengambilan gambar. Ukuran jarak dengan kamera tidak terlalu jauh sebab tanpa bantuan oudio canggih selain semua terpancang pada fasilitas satu camera. Saya harus mampu mengambil gambar berikut dialog dan jarak yang sesuai dan hanya dalam hitungan detik agar gambar selalu berubah-ubah untuk menghindari kebosanan penonton. Dalam setiap adegan tentu tidak semuanya lancar. Tidak jarang pelaku harus mengulang sampai 15 kali dialog yang keseluruhannya saya ambil. Adegan yang salahpun masuk hitungan sebagai film ekstra ‘dibuang sayang’.
Memang awalnya pelaku yang awam semuanya diliputi kebingungan karena kurang tanggap ketika diambil gambarnya yang berganti-ganti bagaikan meloncat-loncat. Namun dengan sedikit penjelasan bahwa gambar yang diambli merupakan adegan belakang atau ending film, atau tengah film barulah mereka paham. Tentunya memanfaatkan lokasi juga menjadi ukuran agar tidak bolak-balik kembali ke lokasi yang sama.
Saya sendiri agak tercengang, mereka para pemain yang sama sekali tidak memiliki latar belakang teater atau mengenyam pendidikan formil di bidang acting atau malah boleh diakata cuma orang-orang awam masyarakat biasa, ternyata mampu mengekspresikan kebolehannya, bahkan saya mengatakan setelah film ini selesai, hasilnya cukup memadai untuk menjadi tontonan yang tidak kalah bila hanya dibandingkan dengan beberapa film tertentu bikinan orang-orang berduit dan berani muncuil di Cineplek atau dicetak dalam kepingan CD maupun DVD oleh mereka yang bertandang di ibu kota.
Meski yang terlibat sebagai pemain kebanyakan adalah para remaja, film ini tidak bicara masalah problem percintaan, namun saya terispirasi dengan nuansa akan diputar tepat tanggal satu suro, maka saya bikin ceritanya bertemakan Misteri, malah untuk episode yang kedua lebih menukik horor murni.
Semua dikemas dalam kepolosan dan alamiyah. Kebanyakan para pemain tidak perlui make up ala artis beneran kecuali yang berperan sbagai hantu-hantu, bahkan saya bebaskan kostum selaras dengan selera pemain tanpa menyalahi alur cerita. Ber make up yang dibuat-buat justru akan mengurangi nilai rialitas yang sedang digambarkan. Tidak perlu menyalahi kenyataan yang sesungguhnya sedang terjadi, biarlah nanti orang lain yang akan bicara. Remaja Masjid tidak harus dibuat-buat mesti harus berkerudung kalau memang kenyataan sekarang memang begitu. Biarlah ada Ulama, Departemen Agama dan pihak-pihak terkait nanti yang ikut menyaksikan dan kemudian bicara kemana-mana sebab film dibuat untuk memperkaya dan mempertajam tatanan budaya masyarakat. Film ini hanya menggambarkan satu sisi dari ribuan sisi realistis yang menjadi kenyataan nuansa masyarakat Temanggung dan sekitarnya. Ngambil gambar rumahnya orang kaya atau miskin tinggal pinjam tetangga. Dalam film ini saya ingin orang melihat bagaimana selain kehidupan performen manusianya juga alam sekitar Temanggungan sehingga saya memerlukan beberapa lokasi yang menjadi simbul obyek yang dapat dijadikan monumental seperti keadaan Islamic Centre IPHI, Kuburan Gunung Bulu Banyuurip, Lapangan Beran Tegowanuh, Lapangan Wonokerso Selopampang, Pondok Pesantren Sumur Blandung, Kebun Tanaman Jagung, Jalan kecamatan Kaloran, dll.

SATU SURO THE MOVIE mencoba mengaktifkan Kegiatan Remaja Masjid di Temanggung

Film memang harus ditonton. Di satu sisi, sebagai seniman yang hidup di Temanggung yang aksesnya masih terlalu sempit jalannya, sayapun tidak ingin bermuluk-muluk. Untuk Lounching cukup menggunakan Balai RW dengan kapasitas 200 orang dan menggunakan laptop lengkap Laser yang ditembakkan ke dinding serta diparalelkan audionya dengan salon sound system yang murah. Begitu film diputar tepat pada malam satu suro pas jumat kliwon, mulai dari awal sampai akhir tidak ada yang beranjak. Sengaja pemutaran perdana dengan menggunakan undangan agar tidak membludag pengunjungnya sebab animo masyarakat yang penasaran maunya ingin berdatangan. Sangat terasa semenjak bioscop City Teater kukut dan sekarang malah menjelma jadi Gereja, film layar lebar dengan nuansa ruang gelap agar setiap orang yang menonton dapat larut secara optimal menjadi kerinduan tersendiri.
Keterikatannya dengan Remaja Masjid sebagai backing kisahnya, mengingat bahwa di era sekarang aktifitas Remaja Masiid yang dulu pernah enjoy dan ngetrend disetiap pedesaan di jaman orde baru dengan segudang aktifitas kegiatannya, saat ini mulai lumpuh bersama punahnya semangat orde baru. Tentunya ada factor-faktor yang menjadikannya demikian. Apakah aktifitas Remaja masjid di Desa-desa saat ini akibat traumatic dengan orde baru? Ini tugas Departemen Agama dan Pemerintah Daerah apakah memang akan dibiarkan demikian atau ingin dinyalakan kembali agar listrik kehidupan beragama bagi remaja di pedesaan untuk menjadi terang. Masjid-masjid yang sekarang ada kebanyakan di dominasi kelompok orang tua dan remajanya dibiarkan lelap di rumah, itullah inti maksud saya membikin film ini sebab kebanyakan film baik yang diputar di biocop maupun di televise bila situsinya menyangkut kehidupan remaja selalu disinggungkan dengan kisah cinta dengan backingnya adalah pelajar, oleh raga, music, dll yang tidak bicara tentang rencana-rencana kegiatan yang jelas selain diakhiri si Romi dan Yuli si lambang cinta bertemu dalam periuk. Adegan duel yang dipertontonkan untuk remaja selalu berebut masalah wanita sebab memang berangkat dari kisah cinta. Saya juga melakukan hal yang sama, namun remaja di film ini berduel karena idilogis untuk melawan kedzaliman. Sisi ini saya ingin member pesan agar remaja jangan Cuma bisa duel karena nonton dangdut maupun sekedar srempetan sepeda motornya. Satu hal yang ingin saya sampaikan kepada Pemerintah Daerah agar suasana Remaja Masjid kembali diaktifkan, karena simbul Kesatuan dan Persatuan Remaja untuk mengimplementasikan kehidupan agama ya Masjid. Disitu tidak bicara unsuriyah lagi, para Ulama dan Cendikiawan Muslim pasti tahu itu…saya tak mau mendikte. Ploting bantuan untuk tempat ibadah itu perlu karena penting, namun jauh yang lebih penting adalah mengisi dan meningkatkan Sumber Daya Manusianya terutama Para Remaja Islam.

Bumbu film

Karena film merupakan pesan moral yang harusnya enak ditonton dan memiliki kesan, maka sayapun tentu tidak lepas member bumbu-bumbu. Dari melihat adegan ‘dibuang sayang’ sebenarnya penonton bisa dibuat terpingkal-pigkal karena bisa dilihat bagaiamana adanya sebuah kecerobohan sutradara dan pemain. Apalagi semua pemain orang Temanggung yang banyak dikenal dalam tanda kutip bukan sebagai pemain film, tentu akan menciptakan kesan tersendiri. Dalam Satu Suro yang pertama saja, bisa dilihat bagaimana Kyai Muhammad Khozin (mantan DPRD-FPKB) melakukan adegan yang salah padahal di perankan sebagai Kyai yang nota bene kehidupannya sehati-harinya. Bagaimana Kirno (pemeran mbah Penyu) yang tanpa dibayar sesenpun sanggup melakukan adegan konyol yang bagi saya cukup bisa dianggap kenthir. Kirno yang dialognya kebolak balik karena memang orang awam bener sudah bisa bikin ketawa. Dalam Satu Suro yang ke dua, saya juga mengajak Bowo Anggoro SE (mantan DPRD-FPDIP) untuk menjadi salah satu pemegang Fatwa. Ada pula Tokoh Kesenian Ketua Jarang Kepang, Pak Zen (Malebo) dan Muh Jabari (Banyuurip). Ada pula pemain yang muncul dari desa Banjaran Candiroto, Gedangan Bulu, bahkan orang Sumatra.
Dua buah film yang berdurasi masing-masing sekitar 2 jam, semuanya saya selipkan sedikit adegan proses pembuatan di deal belakang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari film yang sesungguhnya.
Beberapa pemain yang boleh dibilang pelaku intinya adalah : Salman Al Fanny (pelajar SMP Mu’allimin Temanggung), Imam Prabowo (SMUN I Temanggung), Olasari (SMUN I Temanggung), Ira Fatmawati (SMK Swadaya Temanggung), Rian (STM Pembangunan), Ipul (Bakul Es), Joko (Bakul Siomay), Kirno (Pengamen Lagu India), Pak Kusen (Penjaga Kantor), Ustadz Romadlon (Guru Ngaji), Nurchotimah (Guru Agama TK Negeri Pembina) dll.

Proses belajar dan uji coba tetap sebagai tawaran

Satu suro memang menampilkan pemain serba instan dan spontanitas, namun bukan berarti lepas dari adanya obsesi. Dokter tentu punya opsesi agar seluruh masyarakat sehat. Polisi tentu punya obsesi ingin seluruh masyarakat tertib hokum. Bupati tentu punya osbsesi ingin menyejahterakan masyarakat. Sebagai seniman, sayapun punya obsesi agar seluruh masyarakat dapat mengekspresikan hidup dalam berkesenian. Berkesenian bila disadari secara utuh sebenarnya mampu menyemangatkan hidup dalam mengimplemantasikan profesinya.
Meski semuanya masih dalam proses belajar, saya ingin film ini menjadi bagian yang akan bisa memotifasi. Film dapat dilihat dari berbagai sisi. Plus-minus tinggal cara memandang. Ayam panggangpun belum tentu menjadi selera lidah setiap orang meskipun harganya agak mahal, sebab selera selalu berubah rubah yang kadang dipengaruhi hal-hal yang muncul di sekitarnya. Ayam panggang bikinan Yu Sastro dan Yu Tomblok memiliki keunikan sendiri-sendiri. Demikian Film Satu Suro The Mofie part one and part two bikinan saya. Namun tidak ada salahnya bila siapapun mencoba mencicipi di saat-saat senggang tanpa harus dalam forum formal. Banyak instansi Pemerintah atau Lembaga-lembaga resmi maupun tidak remi yang di dalamnya menyangkut banyak komunitas, mengapa tidak mencoba menyaksikan Film garapan orang Temanggung yang keseluruhannya melibatkan orang-orang Temanggung.
Saya memang berharap proses belajar keberadaan film ini harus di bedah dari berbagai sudut sehingga setidaknya keberadaan film ini akan memacu dan menumbuhkan kreatifitas siapa saja untuk melakukan hal yang setidaknya sama. Sebenarnya masih ada obsesi saya ingin menfilmkan dua buah novel saya yang berjudul Al Qomari terpinang ditengah kabut dengan setingan kisah ditektif moral keagamaan, gambaran saya bloging shotingnya di daerah Wonoboyo dan Tretep, dan satunya lagi adalah Caleg Remuk yang lebih menggambarkan situasi perpolitikan ke depan yang masih dalam lingkup problem Pemilu di tingkat ke Daerah seperti Temanggung. Sementara gagasan lain yang sering muncul dan mengusik pikiran saya juga, ingin membuat film parody tentang hilangnya kewibawaan pejabat dan munculnya jual beli kewibawaan yang terkemas dalam film berjudul Bebek Adus Kali, juga satu gagasan lagi pingin bikin film parody yang berjudul ‘wong edan’. Siapa yang ingin bergabung menjadi relawan?
(Maspar ARS)

BUDAYA MENDEM MENDEMAN




Lagi-lagi 'wong londo', orang barat, orang manca negara yang ngajari minum minuman keras. Dalam benak orang-orang barat 'mendem' merupakan hal yang tidak perlu diperdebatkan. Heran juga aku, di negri kita ini orang barat selalu mendapatkan prioritas. Ujian Nasional juga salah satunya harus 'gandem' nilai pelajaran Bahasa Inggris, padahal orang inggris tidak wajib bisa berbahasa indonesia, tak becus bahasa indonesia tidak ada pengaruhnya dalam mata pelajaran mereka. Banyak Siswa kita hanya nilai ujiannya kurang, terpaksa harus KO...Modar sambat-sambat tapi Pemerintah cuek aja. Saking stresnya nggak tanggung-tanggung konpensasinya lari ke Miras, sementara penegakan Miras di daerah-daerah meskipun sudah ada Perdanya, baru bisa ditindak lanjuti kalau ada laporan jelas dan penjualnya lupa tidak setor 'mel mel gedumel' katanya. Di satu sisi di tempat hotel-hotel mewah di ibu kota, Miras malah mendapatkan lisensi yang konon katanya khusus untuk menjamu turis manca negara...gak tanggung-tanggung PBB membolehkan, ada semacam protek bagi turis bebas bermiras-mirasan. Ironisnya di hotel-hotel yang sudah memegang lisensi kayak gitu malah diblokir para pengusaha dan wong-wong gede pribumi atau turis lokal yang mendem-mendeman.
Saya tidak akan berargumen dengan polecy penguasa yang selalu lembek menangani Miras, namun yang jelas dari sudut agama, tidak ada stupun agama yang menghalalkan minuman keras.
Budaya menghilangkan kepenetan pikiran atau stres yang sering dijadikan argumen ketika orang mendem perlu saya ingatkan bahwa siapapun dan kapanpun seseorang pasti mati. Percaya kepada Tuhan atau tidak seseorang pasti akan bertemu dengan 'mati'. Sesudah mati orang pasti dibangkitkan lagi di alam baka atau alam abadi atau alam akhirat. Orang pinter sekalipun belum percaya dengan akhirat tentu masih sempat berpikir dengan hati nurani bahwa mendem merusak diri sendiri dan dampaknya merusak tatanan kehidupan sosial.
Bagi yang percaya dengan ajaran agama tentu akan mengindahkan beberapa pernyataan Nabi Muhammad SAW yang antara lain :
1. Ada 10 macam yang dikutuk Alloh dalam urusan minuman keras : - peminumnya; - penyelenggara pesta minumannya; - pembawa dan yang dibawakan; - pedagangnya; - dagangannya; - penjual ecerannya; - pembelinya; - pemerasnya; - bos, pemiliknya; - petani yang menanam bahan mentahnya.
2. Pemabuk arak basin bangakainya, kelak ketika bangkit dari kuburnya, dikalungkan botol arak, dan gelas pegangannya, ular dan ketonggeng mengerumuni kulit dagingnya, kakinya beralaskan api yang menggegarkan otaknya, tempatnya di neraka bersama fir'aun dan haman.
3. Ada 10 bencana akibat mendem : - menempatkan diri menjadi maqom gila; - miskin dan sinting; - selalu cekcok dengan keluarga; - terhalang mengingat Alloh dan Sholat; - zina yang kadang zina dengan istrinya sendiri yang tampak secara lahir, padahal sudah bukan istrinya; - menjadi perintis kejahatan; - menghadapi hukum dunia dan akhirat; - tertolak amal baik dan tertolak doa dari teman atau saudaranya; - tak bisa bertanggung jawab atas keselamatan imannya.
4. Alloh berfirman tentang siksanya : " Setiap kulit mereka rusak, lalu Kami ganti dengan kulit yang baru agar merasakan pedihnya Adzab.....". - " Dengan air (hamim) itu hancur luluh isi perut dan kulit mereka, serta cambuk-cambuk besi siap memukul mereka.....!" - " Bagi Kami tiada bedanya mereka mengeluh atau bersabar, sama sekali tiada tempat bisa melarikan diri..."

Senin, 24 Mei 2010

AL QOMARI TERPINANG DI TENGAH KABUT


SEKAPUR SIRIH NGUDO ROSO

Bismillah
Novel, tak ubahnya sebagai masakan. Ukuran kualitas masakan bukan ditentukan oleh bahan dan sarana yang terkesan mewah. Banyak orang orang yang sering beraktifitas di perkotaan, justru sangat merindukan masakan yang tersaji cukup sederhana, baik bahan maupun tempat. Ukurannya adalah ‘enak’ dan ‘nyaman’, seperti ‘nasi urap’ yang cukup di lahap di bawah pohon pinus.
Banyak nuansa pedesaan memiliki kisah tentang interaksi yang terjadi diantara manusia. Tidak ada mall, tidak ada taxi maupun discotik. Tidak ada restoran, losmen dan bahkan perhotelan. Tidak ada pembicaraan tentang transaksi dunia usaha yang dilakukan bisnisman kaliber. Tapi siapa tahu, dunia yang dianggap kurang berkelas itu, malah mampu membuat suasana damai?
Sebuah karya, tidak harus ditulis terlalu banyak ramuan dan proses yang berlebihan. Cukup ada sambel, kerupuk, tempe goreng, lengkap dengan air teh hangat layaknya makan di tenda penjual nasi kucing pinggir jalan. Siapapun bebas untuk menciptakan aroma tambahan seperti duduk sambil merokok. Di tenda seperti itu pula, bahkan merokok ‘klembak menyan’ sering tidak menjadi sebuah hambatan. Asap langsung mengepul menyatu dengan udara yang masih bisa tetap segar, karena sangat luasnya hamparan tak terhijab.
Mengungkap sekelumit kehidupan masyarakat pedesaan selalu menarik. Sekalipun adonan menunya tidak terlalu menyengat, namun masih memiliki aroma khas yang kental dengan adanya integritas perilaku budaya dan geografis alam sekitarnya. Pada kehidupan bermasyarakat, butuh sosok figur yang senantiasa menjadi panutan agar eksprtesi perilaku keseharian tidak begitu rumit. Tinggal mengikuti apa kata figur pimpinan, maka dalam mempertahankan eksistensi budaya ‘unggah-ungguh’ terus bisa terus terperhatikan. Norma budi yang merupakan warisan leluhur atau pendahulunya, tidak bisa ‘diobrak-abrik’ begitu saja. Rasa sosial dalam kehidupan yang kemudian dipengaruhi oleh peradaban Islam, di ramu menjadi satu dalam menciptakan keseimbangan antara budaya orang jawa dan keterikatannya dengan dogma agama. Di sinilah mulai tercipta setiap individu mampu menempatkan diri dalam posisi yang sesungguhnya, sehingga memunculkan sifat menghargai dan menghormati pada orang yang dipandang memiliki ilmu agama, atau yang disebut Kyai maupun Gus.
Kekuatan yang membuat seseorang menjelma menjadi Tokoh agama, sebab ia mampu memberi ketenangan lahir batin dan memberi petunjuk arah kehidupan yang memiliki dampak psyicologis masing-masing individu secara tepat. Selalu saja ada kekuatan yang tidak bisa pudar begitu saja, sebab menjelma menjadi ‘keyakinan’ bahwa hidup itu tidak semata berada di ‘maya pada’, bahkan hidup yang sekarang dijalani setiap manusia tak lebih hanya sekedar mimpi, dan hidup yang sesungguhnya adalah ‘abadi’, tempatnya di ‘alam baqa’
Tapi bagaimana bila kemudian peran Tokoh agama sendiri telah menghianati kepercayaan umat kepadanya? Bagaimana bila Tokoh agama itu memiliki ambisi untuk mempertahankan pengaruhnya untuk sesuatu tujuan keuntungan bagi dirinya sendiri?
Itulah awal kabut mulai mengudara dan menciptakan suasana sedikit menjadi gelap. Adonan yang mestinya sedap untuk menjadi sajian kehidupan, mulai menguapkan bau yang membuat hidung terus mengendus.
Di setiap kehidupan, selalu saja ada kisah cinta, benci, jengkel, marah, bersaing, dan ada istilah ‘gejeglong’. Seperti sebuah masakan yang cukup mengundang selera. Kerinduan pada ‘sambal trasi’ bisa saja membuat ‘sakit perut’.
Siapa yang harus mempertanggungjawabkan sesuatu peristiwa bila sudah terjadi demikian? Apakah yang bikin sambal atau yang makan sambal? Apakah pemilik warung makan yang menyajikan, atau ada pihak ke tiga yang masih sembunyi? Fenomena yang berawal dari sebuah ungkapan sederhana dan sepele, bisa melebar menjadi friksi yang terus mendesas menjadi pertentangan.
Kadang yang dinamakan ‘ketenangan’ bukan berarti berada dalam koridor tatanan yang sudah benar. Ketenangan dan kenyamanan bisa saja diciptakan dalam konspirasi pada tataran kedzaliman. Di sinilah menjadi tugas Juru Dakwah untuk mampu menyibak kabut yang terus menggulung di sebuah Desa Wates.
Alur ceritanya memang tidak begitu rumit, hanya sebuah kejadian biasa dari tingkah manusia yang selalu memiliki sifat tidak sempurna. Konflik menjadi muncul karena dalam ketidak sempurnaan itu, masih saja ada orang yang tega memanfaatkannya.
Di sinilah, sejalan dengan sunatulloh, diantara sekian orang tentu masih ada yang masih bisa menerawang gejolak dengan hati yang bersih. Selalu saja ada orang yang memiliki keberanian untuk membuka cakrawala yang jauh lebih peni. Tidak harus dengan kekuatan politik praktis atau peluru pelor untuk sekedar menyingkap sesuatu yang sederhana. Dan kita selalu bisa menyusup dari setiap cerita siapapun, tak terkecuali kisah Novel ini.
Tidak perlu ada yang sakit hati atau menuntut, ketika sebuah kesederhaan tiba-tiba muncul di hadapan kita. Ketika kita bulas dengan ‘asap rokok klembak menyan’ yang di hisap seorang petani yang duduk di pinggir galangan sawah, sementara tubuhnya banyak berlumuran lumpur dan banyak berkeringat karena sengatan matahari. Kita kadang ikut sebal menyaksikan, apalagi kemudian mendekat dan duduk di sampingnya.
Tapi coba, kita amati dari jauh ‘kesederhaan dan kepolosan itu’, hati kita tentu akan berkata. ‘sungguh nikmat orang dengan aktifitasnya itu!” Kalau orang seperti itu saja bisa merasakan sebuah kenikmatan, mengapa kita sering gelisah, padahal kita masih bisa merokok ‘ji sam soe’, tubuh bersih, dan tidak berlepotan lumpur?
Kelengahan yang sering terjadi di benak kita ini, ada dalam kisah ‘ Al Qomari terpinang di tengah kabut’. Kabut dan debu kemunafikan yang sering menutupi hati kita yang nanar bagai bulan purnama, karena kita tak pernah bisa menangkap arti ‘kesederhanaan itu sendiri’. Siapa bilang, Nabi kita, Muhmmad SAW tak bisa bergelimpangan dengan harta kekayaan dan hidup dalam kemewahan semenjak ia memiliki pengaruh luar biasa dari penduduk Makah dan Madinah waktu itu? Mengapa Nabi memilih hidup sebagai orang miskin dan suka berkumpul dengan orang miskin. Di mana letaknya orang-orang seperti itu sekarang? Ada istilah, kehidupan di kota jauh lebih bergengsi dan memiliki kesan mewah. Ada restoran, ada gedung-gedung yang tinggi, banyak kendaraan ribuan berlalu lalang, jalan rapi dan sulit terkikis air hujan, dan bla-bla-bla........ Tapi mengapa kita tidak mau menengok simbul kesederhaan itu, yang letaknya ada di Desa. Ada pegunungan, sawah, kebun, kali yang airnya jernih mengalir, dan bla-bla-bla.................... Sekali lagi, cuma di Desa barangkali, kesederhaan itu bisa ternikmati.
Biarlah Kyai Hambali terus menggali ketika ia bertemu Kyai Rohmat yang memberi isyarat, bahwa Desa Wates akan mengalami sebuah peradaban kegelapan. Kegelapan yang diartikan sebagai pengaruh globalisasi, yang bisa di bawa oleh seorang yang datang dari dunia kehidupan orang kota.
Biarlah Gus Badrun terus menerjemah dan kemudian mengolah masyarakat Desa Wates untuk senantiasa waspada.
Biralah Roman dan Rofiq bekas Napi Nusa Kambangan, mencoba menelusur adanya ketidak beresan suasana Desa Wates, yang sebenarnya tanpa sadar tengah menyembunyikan bangkai yang bisa menebar penyakit dan mematikan anggapan.
Biarlah Zulaikha menjadi gundah dan bimbang menentukan sikap dalam mencari cinta yang di dalamnya tentu cuma berhadapan dengan tantangan.
Biarlah Afifah terus mengumpat dan minggat dari Desa Wates sekedar mengikuti kata hatinya ketika benturan keras telah menguras seluruh jiwa yang dirasakan seakan-akan telah membuat dirinya nista.
Biarlah Menuk terus mengumpat dan tak berhenti menghujat kehidupan yang telah runyam.
Ada apa di Desa Wates, sehingga kabut menyelimuti sampai orang hanya mampu meraba dalam berjalan? Mungkin sajian novel seperti ‘Al Qomari terpinang di tengah kabut’ dapat sedikit menjawab untuk bagaimana kita memahami sebuah kesederhaan.

Alhamdulillaah
Penulis.